Kisah Mohammad Hatta Menuntut Ilmu

Citra Joni, S.E., M.Ak | 4 Des 2012 |

4 Des 2012




Mengenang 100 tahun proklamator kemerdekaan kita, Mohammad Hatta, 12 Agustus 1902-12 Agustus 2002, agaknya layak dilakukan seperti meninjau kembali hampir seluruh proses terbentuknya bangsa kita. Meninjau kembali berarti menilai ulang masa 100 tahun itu dengan pikiran warga negara merdeka. Tidak akan mengherankan bila tinjauan seperti itu menimbulkan kesadaran tentang betapa selama ini anggapan kita mengenai proses tersebut sarat dengan mentalitas rakyat jajahan.
Berbeda dari kebanyakan rakyat jajahan, Hatta tidak terperangkap dalam hanya menolak atau menerima cita-cita itu. Sebaliknya, ia dengan sangat bebas memilih dari kehidupan sekitarnya apa yang dianggap perlu bagi diri sendiri dan masyarakatnya. Sikap bebas ini, khususnya rasa girangnya menjelajahi hidup, selama ini dikaburkan, seolah-olah itu merupakan cacat, diganti dengan gambaran kesalehan Hatta yang hampir menjadi karikatur. Sesungguhnya masa kecil Hatta merupakan masa kemerdekaan bagi dirinya, kegirangan menjelajah kehidupan.
Hal yang serupa berlaku juga bagi masa tinggal Hatta di Belanda selama 11 tahun, 20 September 1921- 20 Juli 1932, kurun yang khusus akan dibicarakan di dalam tulisan ini. Sampai sekarang, masa tinggal Hatta di Belanda masih umum dianggap sebagai masa belajar, masa "menuntut ilmu" di negeri maju yang peradabannya jadi idaman. "Belajar" di sini dipahami bukan sekadar upaya individual, tetapi lebih sebagai usaha kolektif, yaitu hasrat suatu masyarakat keseluruhan untuk menyamai perkembangan masyarakat lain yang dianggap lebih maju. Bagi masyarakat yang belajar itu hubungan tersebut mengandung perasaan rendah diri, hubungan tidak sederajat dengan pihak lain.

Bertolak ke Rotterdam

Hatta meninggalkan Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, Sumatera Barat, menuju pelabuhan Rotterdam, Nederland, pada Rabu, 3 Agustus 1921. Tiketnya kelas dua, sama dengan yang biasa dibeli oleh pejabat pemerintah golongan tengah yang libur ke Belanda. Di kapal itu ia sekamar dengan seorang Belanda totok berpangkat sersan mayor. Tidak hanya itu. Ketika berlabuh di Marseille, Perancis, Hatta berani turun ke darat berkat kemahirannya berbahasa Perancis, dan jadi pemandu bagi suatu keluarga Belanda yang membayari segala keperluan Hatta selama sama-sama menjelajahi kota itu.
Tiba di Rotterdam, Senin 5 September 1921, Hatta langsung menikmati buah pergaulannya yang sederajat dengan segala pihak selama di Batavia. Ia dijemput oleh Ir MJ Rvmer, kenalan Ir Van Leeuwen, tokoh yang memperkenalkan Hatta dengan perkumpulan teosofi. Walaupun demikian, Hatta tidak sampai tergantung pada kebaikan Rvmer dengan tinggal di rumahnya, Rozenburglaan No 52a, Rotterdam. Esok harinya Hatta segera pindah ke tempat yang lebih bebas, Tehuis voor Indische Studenten, Pesanggrahan Mahasiswa Hindia-Belanda di St Mauritsplein, sebelah utara pusat Kota Den Haag, yang baru resmi buka 15 Maret 1921.
Tindakan ini pun bukan tanpa perhitungan ekonomis. Bagi seorang pelajar, sekadar hidup di Belanda perlu paling sedikit 150 gulden sebulan atau 5 gulden sehari. Menginap di Tehuis itu hanya bayar 3 gulden, jadi cuma 90 gulden sebulan. Dengan bayaran semurah itu penghuni sudah dapat makan 3 kali sehari, dengan nasi untuk makan malam, selebihnya menu Eropa, roti. Pada hari Minggu disediakan nasi goreng. Hatta sendiri menilai penguni "sangat dimanjakan". Dengan 3.000 gulden di kantung, Hatta boleh merasa lega, paling kurang selama tahun pertama. Masuk akal bahwa Hatta segera terjun ke dalam kehidupan mahasiswa di Nederland dengan sepenuh hati.
Setelah seminggu di Den Haag, Hatta didatangi oleh Nazir Pamoentjak. Dengan semangat yang sama seperti memperkenalkan Jong Sumatranen Bond (JSB) di Padang Januari 1918, Nazir memberi tahu Hatta bahwa di Nederland sudah tidak ada lagi Inlander karena sudah menyebut diri Indonesier, sedang Nederlandsch-Indie sudah diganti dengan "Indonesia" sesuai anjuran Prof Dr Van Vollenhoven. Di Nederland juga sudah berdiri komite untuk autonomie voor Nederlandsch-Indie. Penganjurnya para guru besar Universitas Leiden. Ketuanya seorang guru besar emeritus di Fakultas Hukum berusia 76, Prof Dr Van Oppenheim.
Tentu Hatta agak kaget ketika kemudian Nazir mendesaknya masuk organisasi Indische Vereeniging, karena di Belanda tidak ada "Jong" ini atau "Jong" itu. Kenapa tidak Indonesische Vereeniging tukas Hatta. Nazir harus menjelaskan bahwa "Indische Vereeniging" didirikan pada 25 Oktober 1908, sedangkan penamaan Indonesier dan Indonesisch diperkenalkan pada 1917.
Boleh jadi "propaganda" Nazir itu menggugah juga, karena Sabtu berikutnya, 17 September 1921, Hatta langsung menerima anjuran Nazir agar berkenalan dengan teman-teman di Leiden. Hari itu ia berangkat dengan kereta api dari Den Haag, dan hanya dalam 15 menit sudah sampai di Stasiun Leiden. Yang lama, sekitar 30 menit, justru menunggu trem dari Tehuis ke stasiun Den Haag.
Sesampai di Leiden, Hatta langsung ke kamar Nazir di Bilderdijkstraat No 1, di Leiden Selatan, tetapi malamnya menginap di kamar Haji Dahlan Abdoellah di Hoge Woerd, Leiden Timur. Nazir, yang sebenarnya sudah lulus HBS pada Mei 1917, terlambat ke Belanda karena perang, sehingga ia baru akan masuk Fakultas Hukum di Universitas Leiden pada September 1922. Ketika bertemu Hatta di Den Haag, Nazir baru lulus ujian negara di bidang bahasa-bahasa klasik. Sebaliknya, Dahlan Abdullah menjabat guru bantu dalam bahasa Melayu untuk Frof Dr Van Ronkel.
Malam Minggu itu, Hatta bersama Nazir Pamoentjak dan Dahlan Abdoellah menemui mahasiswa lain di Hoge Woerd juga pada suatu hospita (ibu kos) yang menyediakan makan malam kepada pemesan. Mereka adalah Zainal Abidin, Ahmad Soebardjo, Darmawan Mangoenkoesoemo, Maramis, dan Harmen Kartawisastra. Sesudah makan mereka ramai-ramai ke kamar Soebardjo di Bilderdijkstraat, bergabung dengan Samsi Sastrawidagda dan Harsuadi.
Tahun itu resmi tercatat 72 orang pelajar Indonesia di Belanda, 29 siswa dan 43 mahasiswa. Mereka terdiri dari Jawa (48), Ambon (7), Minangkabau (5), Batak (4), Manado (4), Sunda (3), dan Palembang (1). Dari kelompok mahasiswa, hukum (14), kedokteran umum (9), teknik (5), kedokteran hewan (4), indologi (3), sastra (3), ekonomi/bisnis (3), pertanian (1), dan sains (1). Dari kelompok siswa, yang terbanyak adalah tentara (8), baru guru (5).
Yang paling sadar politik di antara mereka diresapi gagasan seorang tokoh yang dianggap paling progresif masa itu, yakni Prof Dr Cornelis van Vollenhoven (1874-1933), guru besar hukum adat di Fakultas Hukum, Universitas Leiden, sejak tahun 1901. Ia seorang pelopor aliran pemikiran etis, de etische richting, hal yang sangat berbeda kalau bukan bertentangan dengan politik etis, de etische politiek yang paternalistis berdasarkan anggapan tentang beban moral masyarakat kulit putih. Aliran etis ini dapat dirunut sampai ke pikiran dasar Hugo Grotius, yaitu perdamaian dunia, societas humana, lewat instrumen hukum internasional.
Dalam rangka pemikiran itulah Vollenhoven menulis disertasi untuk promosi doktor di Universitas Leiden, 3 Mei 1898 berjudul Omtrek en inhoud van het internationale recht (Cakupan dan Isi Hukum Internasional), dengan predikat cum laude. Pada tahun 1906, terbit jilid pertama magnum opus dia, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie, yang menambah keyakinannya bahwa Hindia-Belanda harus diberi kesempatan menuju otonomi, emansipasi, bebas dari perwalian (ontvoogding).
Enam bulan setelah Hatta tiba di Rotterdam, di dalam suatu artikelnya di surat kabar NRC awal April 1922, Vollenhoven menulis al, Doch de vrijheidsgloed, dien wij bewonderen en eeren in 1572, gloeit sinds een dozijn jaren ook in ons Oosten. Juga semangat merdeka, yang kita kagumi dan hormati pada tahun 1572, bergolak sejak selusin tahun yang lalu di wilayah kita di Timur. Gagasannya tentang perdamaian, otonomi, emansipasi, menjadi populer berkat perkembangan internasional sesudah Perang Dunia I, tetapi sekaligus membangkitkan kemarahan kalangan kapitalis Belanda. Polemik marak sampai golongan kapitalis mendirikan fakultas indologi tandingan di Universitas Utrecht pada tahun 1925.
Kendati tidak pernah menyinggung suasana tersebut, boleh jadi dengan itu Hatta merasa makin yakin dengan masa depan masyarakatnya. Yang pasti Hatta menyimak debat teman-temannya yang baru di kamar Soebardjo sekitar gagasan dasar Vollenhoven mengenai otonomi Hindia-Belanda. Debat baru berakhir tengah malam, dengan dua orang pembicara terbanyak, Nazir Pamoentjak dan Darmawan Mangoenkoesoemo.
Mereka menyatakan rasa tidak puas dengan kerja sama di dalam Indonesische Verbond van Studerenden (Serikat Pelajar Indoneisa) dan pengingkaran Belanda atas janji otonomi dalam "November Belofte" Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum 18 November 1918. Walaupun demikian mereka tidak sampai pada sikap bersama. Yang pasti, sikap radikal hanya ada pada Darmawan Mangoenkoesomo yang menegaskan bahwa kerja sama dengan Belanda tidak akan berhasil.
Debat yang ramai itu tidak menghalangi Hatta menikmati malam panjangnya. Balik ke kamar Dahlan Abdullah, mereka berdua masih ngobrol tentang hal lain seperti kisah naik haji Dahlan beberapa bulan sebelumnya sampai pukul 02.30. Hatta baru bangun pukul 09.00, masih lebih pagi daripada temannya, pukul 10.30. Karena itu, ia sarapan sendiri dari yang sudah tersedia di ruang duduk: teh, kopi, telur, daging asap, dan butir cokelat. Hatta yang tentu sudah belajar etiket Belanda tahu ini hidangan aneh. Biasanya sarapan di Belanda dengan teh, sedangkan kopi untuk makan siang.
Habis sarapan ia dengan santai membaca surat kabar De Telegraaf. Setelah bangun dan sarapan, Dahlan mengajaknya keluar jalan-jalan sambil ngobrol. Tengah hari mereka kembali, dan Hatta kaget melihat menu koffie drinken alias makan siang sama dengan sarapan. Hatta sempat berkomentar bahwa mereka sarapan dan makan siang sambung-menyambung. Dahlan bilang, lumayan daripada Nazir Pamoentjak dua-duanya jadi satu, koffie drinken.
Minggu sore masih mereka habiskan dengan diskusi lagi di tempat Soebardjo sambil makan kue dan minum teh. Baru pukul 20.00, Hatta dan Darmawan meninggalkan Leiden. Hatta ke Den Haag, sedang Darmawan ke Delft. Ia mahasiswa teknik kimia di Technische Hogeschool di kota itu.
Esok paginya, Senin 19 September 1921, Hatta mendaftarkan diri di Handelshogeschool, Rotterdam. Caranya khas prosedur negara maju: bayar uang kuliah setahun (1921-1922) sebesar 200 gulden di bank (Mees & Zoon), lalu dengan tanda terima dari bank melapor di ruang pendaftaran sekolah tinggi itu. Karena waktu melapor itu baru mulai pukul 13:15, Hatta mutar-mutar dulu di sekitar lokasi sekolah tinggi, Pieter de Hoochweg, dekat pelabuhan, sambil tangsal perut. Hatta tidak pesan makanan, cuma segelas susu, tetapi itu merupakan kesempatan pertama ia berhadapan dengan masyarakat biasa Belanda.
Habis melapor, Hatta masih harus menunggu panggilan masuk menghadap rektor sekolah tinggi, Prof Dr F de Vries. Dalam menunggu itu, Hatta bertemu dengan seorang dari hanya dua mahasiswa Indonesia lain yang belajar di sekolah tinggi yang sama, Raden Mas Hidayat, yang sudah duduk di tingkat tiga.
Sambil koffie drinken di kantin sekolah tinggi, Hidayat memperkenalkan Hatta dengan mahasiswa Indonesia ketiga, Suzanna van Joost (peranakan ayah Ambon dan ibu Belanda). Kedua mahasiswa itu belajar di sana atas biaya sendiri, dan mampu jadi anggota korps dan klub mahasiswa elite dengan bayaran 50 gulden sebulan. Hatta menolak ajakan mereka jadi anggota klub atau korps dengan alasan keuangan, tetapi agaknya alasan sesungguhnya menyangkut juga kesadaran politik.
Pertemuan dengan De Vries cuma 15 menit. Sesudah itu Hatta langsung menuju De Westerbookhandel, toko buku terkenal di Rotterdam. Ia memesan buku-buku pegangan di sekolah tinggi, langganan majalah-majalah ekonomi, dan memasang iklan cari kamar. Buku-buku dibeli dengan mencicil, 10 gulden sebulan hingga sejumlah 150 gulden. Buku-buku itu antara lain: Taussig, Principles of Economics; Hartley Withers, The Meaning of Money; Schdr, Handelsbetrieblehre, Ekonomi Perusahaan; Gerstner, Bilanzanalyse, Analisa Neraca; TMC Asser, Schets van het Nederlands Haldelsrecht, Garis Besar Hukum Dagang Nederland.
Jadi, Senin 19 September 1921, Hatta resmi menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Bisnis (Handelshogeschool) Rotterdam dengan kesadaran politik yang tidak kalah tingginya. Perjumpaan dan pertarungan alam pikir Hatta dengan alam pikir Belanda di markasnya sendiri sudah mulai.