Mengenang
100 tahun proklamator kemerdekaan kita, Mohammad Hatta, 12 Agustus 1902-12
Agustus 2002, agaknya layak dilakukan seperti meninjau kembali hampir seluruh
proses terbentuknya bangsa kita. Meninjau kembali berarti menilai ulang masa
100 tahun itu dengan pikiran warga negara merdeka. Tidak akan mengherankan bila
tinjauan seperti itu menimbulkan kesadaran tentang betapa selama ini anggapan
kita mengenai proses tersebut sarat dengan mentalitas rakyat jajahan.
Berbeda dari
kebanyakan rakyat jajahan, Hatta tidak terperangkap dalam hanya menolak atau
menerima cita-cita itu. Sebaliknya, ia dengan sangat bebas memilih dari kehidupan
sekitarnya apa yang dianggap perlu bagi diri sendiri dan masyarakatnya. Sikap
bebas ini, khususnya rasa girangnya menjelajahi hidup, selama ini dikaburkan,
seolah-olah itu merupakan cacat, diganti dengan gambaran kesalehan Hatta yang
hampir menjadi karikatur. Sesungguhnya masa kecil Hatta merupakan masa
kemerdekaan bagi dirinya, kegirangan menjelajah kehidupan.
Hal yang
serupa berlaku juga bagi masa tinggal Hatta di Belanda selama 11 tahun, 20
September 1921- 20 Juli 1932, kurun yang khusus akan dibicarakan di dalam
tulisan ini. Sampai sekarang, masa tinggal Hatta di Belanda masih umum dianggap
sebagai masa belajar, masa "menuntut ilmu" di negeri maju yang
peradabannya jadi idaman. "Belajar" di sini dipahami bukan sekadar
upaya individual, tetapi lebih sebagai usaha kolektif, yaitu hasrat suatu
masyarakat keseluruhan untuk menyamai perkembangan masyarakat lain yang
dianggap lebih maju. Bagi masyarakat yang belajar itu hubungan tersebut
mengandung perasaan rendah diri, hubungan tidak sederajat dengan pihak lain.
Bertolak ke Rotterdam
Hatta
meninggalkan Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, Sumatera Barat, menuju pelabuhan
Rotterdam, Nederland, pada Rabu, 3 Agustus 1921. Tiketnya kelas dua, sama
dengan yang biasa dibeli oleh pejabat pemerintah golongan tengah yang libur ke
Belanda. Di kapal itu ia sekamar dengan seorang Belanda totok berpangkat sersan
mayor. Tidak hanya itu. Ketika berlabuh di Marseille, Perancis, Hatta berani
turun ke darat berkat kemahirannya berbahasa Perancis, dan jadi pemandu bagi
suatu keluarga Belanda yang membayari segala keperluan Hatta selama sama-sama
menjelajahi kota itu.
Tiba di
Rotterdam, Senin 5 September 1921, Hatta langsung menikmati buah pergaulannya
yang sederajat dengan segala pihak selama di Batavia. Ia dijemput oleh Ir MJ Rvmer,
kenalan Ir Van Leeuwen, tokoh yang memperkenalkan Hatta dengan perkumpulan
teosofi. Walaupun demikian, Hatta tidak sampai tergantung pada kebaikan Rvmer
dengan tinggal di rumahnya, Rozenburglaan No 52a, Rotterdam. Esok harinya Hatta
segera pindah ke tempat yang lebih bebas, Tehuis voor Indische Studenten,
Pesanggrahan Mahasiswa Hindia-Belanda di St Mauritsplein, sebelah utara pusat
Kota Den Haag, yang baru resmi buka 15 Maret 1921.
Tindakan ini
pun bukan tanpa perhitungan ekonomis. Bagi seorang pelajar, sekadar hidup di
Belanda perlu paling sedikit 150 gulden sebulan atau 5 gulden sehari. Menginap
di Tehuis itu hanya bayar 3 gulden, jadi cuma 90 gulden sebulan. Dengan bayaran
semurah itu penghuni sudah dapat makan 3 kali sehari, dengan nasi untuk makan malam,
selebihnya menu Eropa, roti. Pada hari Minggu disediakan nasi goreng. Hatta
sendiri menilai penguni "sangat dimanjakan". Dengan 3.000 gulden di
kantung, Hatta boleh merasa lega, paling kurang selama tahun pertama. Masuk
akal bahwa Hatta segera terjun ke dalam kehidupan mahasiswa di Nederland dengan
sepenuh hati.
Setelah
seminggu di Den Haag, Hatta didatangi oleh Nazir Pamoentjak. Dengan semangat
yang sama seperti memperkenalkan Jong Sumatranen Bond (JSB) di Padang Januari
1918, Nazir memberi tahu Hatta bahwa di Nederland sudah tidak ada lagi Inlander
karena sudah menyebut diri Indonesier, sedang Nederlandsch-Indie
sudah diganti dengan "Indonesia" sesuai anjuran Prof Dr Van
Vollenhoven. Di Nederland juga sudah berdiri komite untuk autonomie voor
Nederlandsch-Indie. Penganjurnya para guru besar Universitas Leiden.
Ketuanya seorang guru besar emeritus di Fakultas Hukum berusia 76, Prof Dr Van
Oppenheim.
Tentu Hatta
agak kaget ketika kemudian Nazir mendesaknya masuk organisasi Indische
Vereeniging, karena di Belanda tidak ada "Jong" ini atau
"Jong" itu. Kenapa tidak Indonesische Vereeniging tukas Hatta.
Nazir harus menjelaskan bahwa "Indische Vereeniging" didirikan pada
25 Oktober 1908, sedangkan penamaan Indonesier dan Indonesisch
diperkenalkan pada 1917.
Boleh jadi
"propaganda" Nazir itu menggugah juga, karena Sabtu berikutnya, 17
September 1921, Hatta langsung menerima anjuran Nazir agar berkenalan dengan
teman-teman di Leiden. Hari itu ia berangkat dengan kereta api dari Den Haag,
dan hanya dalam 15 menit sudah sampai di Stasiun Leiden. Yang lama, sekitar 30
menit, justru menunggu trem dari Tehuis ke stasiun Den Haag.
Sesampai di
Leiden, Hatta langsung ke kamar Nazir di Bilderdijkstraat No 1, di Leiden
Selatan, tetapi malamnya menginap di kamar Haji Dahlan Abdoellah di Hoge Woerd,
Leiden Timur. Nazir, yang sebenarnya sudah lulus HBS pada Mei 1917, terlambat
ke Belanda karena perang, sehingga ia baru akan masuk Fakultas Hukum di
Universitas Leiden pada September 1922. Ketika bertemu Hatta di Den Haag, Nazir
baru lulus ujian negara di bidang bahasa-bahasa klasik. Sebaliknya, Dahlan
Abdullah menjabat guru bantu dalam bahasa Melayu untuk Frof Dr Van Ronkel.
Malam Minggu
itu, Hatta bersama Nazir Pamoentjak dan Dahlan Abdoellah menemui mahasiswa lain
di Hoge Woerd juga pada suatu hospita (ibu kos) yang menyediakan makan malam
kepada pemesan. Mereka adalah Zainal Abidin, Ahmad Soebardjo, Darmawan
Mangoenkoesoemo, Maramis, dan Harmen Kartawisastra. Sesudah makan mereka
ramai-ramai ke kamar Soebardjo di Bilderdijkstraat, bergabung dengan Samsi
Sastrawidagda dan Harsuadi.
Tahun itu
resmi tercatat 72 orang pelajar Indonesia di Belanda, 29 siswa dan 43
mahasiswa. Mereka terdiri dari Jawa (48), Ambon (7), Minangkabau (5), Batak
(4), Manado (4), Sunda (3), dan Palembang (1). Dari kelompok mahasiswa, hukum
(14), kedokteran umum (9), teknik (5), kedokteran hewan (4), indologi (3),
sastra (3), ekonomi/bisnis (3), pertanian (1), dan sains (1). Dari kelompok
siswa, yang terbanyak adalah tentara (8), baru guru (5).
Yang paling
sadar politik di antara mereka diresapi gagasan seorang tokoh yang dianggap
paling progresif masa itu, yakni Prof Dr Cornelis van Vollenhoven (1874-1933),
guru besar hukum adat di Fakultas Hukum, Universitas Leiden, sejak tahun 1901.
Ia seorang pelopor aliran pemikiran etis, de etische richting, hal yang
sangat berbeda kalau bukan bertentangan dengan politik etis, de etische
politiek yang paternalistis berdasarkan anggapan tentang beban moral
masyarakat kulit putih. Aliran etis ini dapat dirunut sampai ke pikiran dasar
Hugo Grotius, yaitu perdamaian dunia, societas humana, lewat instrumen
hukum internasional.
Dalam rangka
pemikiran itulah Vollenhoven menulis disertasi untuk promosi doktor di
Universitas Leiden, 3 Mei 1898 berjudul Omtrek en inhoud van het internationale
recht (Cakupan dan Isi Hukum Internasional), dengan predikat cum laude.
Pada tahun 1906, terbit jilid pertama magnum opus dia, Het Adatrecht
van Nederlandsch-Indie, yang menambah keyakinannya bahwa Hindia-Belanda
harus diberi kesempatan menuju otonomi, emansipasi, bebas dari perwalian (ontvoogding).
Enam bulan
setelah Hatta tiba di Rotterdam, di dalam suatu artikelnya di surat kabar NRC
awal April 1922, Vollenhoven menulis al, Doch de vrijheidsgloed, dien wij
bewonderen en eeren in 1572, gloeit sinds een dozijn jaren ook in ons Oosten.
Juga semangat merdeka, yang kita kagumi dan hormati pada tahun 1572, bergolak
sejak selusin tahun yang lalu di wilayah kita di Timur. Gagasannya tentang
perdamaian, otonomi, emansipasi, menjadi populer berkat perkembangan
internasional sesudah Perang Dunia I, tetapi sekaligus membangkitkan kemarahan
kalangan kapitalis Belanda. Polemik marak sampai golongan kapitalis mendirikan
fakultas indologi tandingan di Universitas Utrecht pada tahun 1925.
Kendati
tidak pernah menyinggung suasana tersebut, boleh jadi dengan itu Hatta merasa
makin yakin dengan masa depan masyarakatnya. Yang pasti Hatta menyimak debat
teman-temannya yang baru di kamar Soebardjo sekitar gagasan dasar Vollenhoven
mengenai otonomi Hindia-Belanda. Debat baru berakhir tengah malam, dengan dua
orang pembicara terbanyak, Nazir Pamoentjak dan Darmawan Mangoenkoesoemo.
Mereka
menyatakan rasa tidak puas dengan kerja sama di dalam Indonesische Verbond
van Studerenden (Serikat Pelajar Indoneisa) dan pengingkaran Belanda atas
janji otonomi dalam "November Belofte" Gubernur Jenderal Van Limburg
Stirum 18 November 1918. Walaupun demikian mereka tidak sampai pada sikap
bersama. Yang pasti, sikap radikal hanya ada pada Darmawan Mangoenkoesomo yang
menegaskan bahwa kerja sama dengan Belanda tidak akan berhasil.
Debat yang
ramai itu tidak menghalangi Hatta menikmati malam panjangnya. Balik ke kamar
Dahlan Abdullah, mereka berdua masih ngobrol tentang hal lain seperti
kisah naik haji Dahlan beberapa bulan sebelumnya sampai pukul 02.30. Hatta baru
bangun pukul 09.00, masih lebih pagi daripada temannya, pukul 10.30. Karena
itu, ia sarapan sendiri dari yang sudah tersedia di ruang duduk: teh, kopi,
telur, daging asap, dan butir cokelat. Hatta yang tentu sudah belajar etiket Belanda
tahu ini hidangan aneh. Biasanya sarapan di Belanda dengan teh, sedangkan kopi
untuk makan siang.
Habis
sarapan ia dengan santai membaca surat kabar De Telegraaf. Setelah
bangun dan sarapan, Dahlan mengajaknya keluar jalan-jalan sambil ngobrol. Tengah
hari mereka kembali, dan Hatta kaget melihat menu koffie drinken alias
makan siang sama dengan sarapan. Hatta sempat berkomentar bahwa mereka sarapan
dan makan siang sambung-menyambung. Dahlan bilang, lumayan daripada Nazir
Pamoentjak dua-duanya jadi satu, koffie drinken.
Minggu sore
masih mereka habiskan dengan diskusi lagi di tempat Soebardjo sambil makan kue
dan minum teh. Baru pukul 20.00, Hatta dan Darmawan meninggalkan Leiden. Hatta
ke Den Haag, sedang Darmawan ke Delft. Ia mahasiswa teknik kimia di Technische
Hogeschool di kota itu.
Esok
paginya, Senin 19 September 1921, Hatta mendaftarkan diri di Handelshogeschool,
Rotterdam. Caranya khas prosedur negara maju: bayar uang kuliah setahun
(1921-1922) sebesar 200 gulden di bank (Mees & Zoon), lalu dengan tanda
terima dari bank melapor di ruang pendaftaran sekolah tinggi itu. Karena waktu
melapor itu baru mulai pukul 13:15, Hatta mutar-mutar dulu di sekitar
lokasi sekolah tinggi, Pieter de Hoochweg, dekat pelabuhan, sambil tangsal
perut. Hatta tidak pesan makanan, cuma segelas susu, tetapi itu merupakan
kesempatan pertama ia berhadapan dengan masyarakat biasa Belanda.
Habis
melapor, Hatta masih harus menunggu panggilan masuk menghadap rektor sekolah
tinggi, Prof Dr F de Vries. Dalam menunggu itu, Hatta bertemu dengan seorang
dari hanya dua mahasiswa Indonesia lain yang belajar di sekolah tinggi yang
sama, Raden Mas Hidayat, yang sudah duduk di tingkat tiga.
Sambil koffie
drinken di kantin sekolah tinggi, Hidayat memperkenalkan Hatta dengan
mahasiswa Indonesia ketiga, Suzanna van Joost (peranakan ayah Ambon dan ibu
Belanda). Kedua mahasiswa itu belajar di sana atas biaya sendiri, dan mampu
jadi anggota korps dan klub mahasiswa elite dengan bayaran 50 gulden sebulan.
Hatta menolak ajakan mereka jadi anggota klub atau korps dengan alasan
keuangan, tetapi agaknya alasan sesungguhnya menyangkut juga kesadaran politik.
Pertemuan
dengan De Vries cuma 15 menit. Sesudah itu Hatta langsung menuju De
Westerbookhandel, toko buku terkenal di Rotterdam. Ia memesan buku-buku
pegangan di sekolah tinggi, langganan majalah-majalah ekonomi, dan memasang
iklan cari kamar. Buku-buku dibeli dengan mencicil, 10 gulden sebulan hingga
sejumlah 150 gulden. Buku-buku itu antara lain: Taussig, Principles of
Economics; Hartley Withers, The Meaning of Money; Schdr, Handelsbetrieblehre,
Ekonomi Perusahaan; Gerstner, Bilanzanalyse, Analisa Neraca; TMC
Asser, Schets van het Nederlands Haldelsrecht, Garis Besar Hukum Dagang
Nederland.
Jadi, Senin
19 September 1921, Hatta resmi menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Bisnis
(Handelshogeschool) Rotterdam dengan kesadaran politik yang tidak kalah
tingginya. Perjumpaan dan pertarungan alam pikir Hatta dengan alam pikir
Belanda di markasnya sendiri sudah mulai.